Jumat, 24 September 2010

TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN TINDAKAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MASALAH UTAMA PERILAKU KEKERASAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 disebutkan bahwa sekitar 2,5 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan kejiwaan, dari tingkat ringan hingga berat. Sedangkan data yang dikeluarkan Departemen Kesehatan pada tahun 2008 menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa berat sebesar 2,6 juta jiwa, yang diambil dari data Rumah Sakit Jiwa (RSJ) se-Indonesia (Depkes RI, 2008). Salah satu gangguan jiwa yang sering ditemui adalah skizoprenia (Maramis, 1998).
Sekitar 45 % penderita yang masuk rumah sakit jiwa merupakan klien skizoprenia dan sebagian besar klien skizoprenia yang tinggal di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama. Melalui survey kesehatan jiwa yang dilakukan pada penduduk 11 kota terpilih di Indonesia, dilaporkan prevalensi gangguan kesehatan jiwa sebesar 185 orang pada 1000 penduduk. Ini berarti bahwa disetiap rumah tangga yang terdiri dari 5-6 anggota keluarga terdapat satu orang yang menderita gangguan jiwa (Soejono, 2007).
Sebagai negara yang sedang berkembang bangsa Indonesia terus menerus berusaha meningkatkan pembangunan di segala bidang, termasuk dibidang kesehatan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak perubahan yang sangat berarti bagi umat manusia. Dalam dunia yang terus menerus mengalami perubahan ini, manusia harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut untuk mencegah timbulnya dampak negative atau stress. Perubahan yang terjadi itu tidak terlepas adanya penghalang, kesukaran, kebimbangan yang menuntut kita untuk bisa menyesuaikan diri agar dapat mencegah timbulnya stress. Bila manusia tidak dapat mengatasi stress dengan baik, maka akan muncul gangguan badan ataupun gangguan jiwa (Maramis, 1998).
Gangguan jiwa salah satunya adalah Schizophrenia dapat menimpa siapa pun, terutama orang yang memiliki keturunan secara genetis. Episode kegilaan pertama umumnya terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa. Pada anak yang kedua orang tuanya tidak menderita schizophrenia, kemungkinan terkena penyakit ini adalah satu persen. Sementara pada anak yang salah satu orang tuanya menderita schizophrenia, kemungkinan terkena adalah 13 persen. Dan jika kedua orang tua menderita schizophrenia maka risiko terkena adalah 35 persen. (Chaery Indra, 2007) Berdasarkan laporan 6 bulan terakhir Rumah Sakit Jiwa Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2008 jumlah klien dengan perilaku kekerasan di ruang melati 119 pasien dari 235 pasien. Dan di ruang dahlia 82 pasien dari156 pasien. Jadi jumlah pasien dengan Perilaku kekerasan adalah 201 pasien dari 391 pasien di ruang dahlia dan melati RSJP NTB.
Melalui wawancara dan observasi ruangan, perawat dlm menangani pasien dengan perilaku kekresan masih menggunakan cara yang alami, dan belum berdasarkan Lalu terdapat juga tingkat kekambuhan pasien dari6 blan terakhir. Dari jumlah pasien di atas, tredapat sekitar 48 pasien dengan tingkat kekambuhan yang bervariasi. Diantaranya ada yang kambuh setelah 1 minggu sampai beberapa bulan setelah diserahkan kepada keluarga masing-masing. Angka perkelahian pasien, pasien yang merusak lingkungan (alat-alat di ruangan), juga sering terjadi di ruangan, namun hal ini tidak didokumentasikan oleh pihak RSJ. Hal ini tidak terlepas dari pemberian tindakan keperawatan yang kurang optimal.
Adapun jumlah perawat di ruang Melati yaitu 13 orang diantaranya 6 orang SPK, 1 orang SPKSJ. Ruang Dahlia terdapat 12 orang perawat, diantaranya 5 orang SPK, 2 orang SPKSJ. Ruang Angsoka terdapat 9 orang perawat diantaranya 2 orang SPK dan 3 orang SPKSJ. Ruang Mawar terdapat 11 perawat, diantaranya 7 orang SPK.
Pada klien yang terdiagnosa dengan skizoprenia dapat menunjukkan gejala-gejala primer dan sekunder. Gejala-gejala primernya adalah gangguan proses pikir, gangguan afek dan emosi, gangguan kemauan dan psikomotor, sedangkan pada gejala sekunder didapatkan adanya halusinasi dan waham.
Perilaku kekerasan merupakan salah satu gejala primer dari klien yang terdiagnosa dengan skizoprenia. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.
Perilaku kekerasan/amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut, manipulasi atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik emosional yang belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan perhatian dan ketergantungan pada orang lain. Pada klien dengan perilaku kekerasan gejala yang dapat dilihat adalah muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak: merampas makanan, memukul jika tidak senang.
Penanganan klien dengan perilaku tidak saja dengan pemberian obat, tetapi lebih penting adalah bagaimana perawatan yang diberikan dalam suasana lingkungan yang therapiutik. Untuk itu perawat di tuntut memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang khusus agar dapat memberikan tindakan keperawatan secara optimal dengan menitik beratkan pada keadaan psikososial tanpa mengabaikan fisiknya. Dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa untuk meningkatkan kesehatan jiwa seoptimal mungkin, memerlukan kemampuan perawat yang berkualitas. Peningkatan kemampuan perawat yang profesional sangat diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan gangguan jiwa khususnya klien dengan perilaku kekerasan. Peran perawat dalam perawatan klien dengan perilaku kekerasan sangat penting terutama untuk mencegah dampak yang diakibatkan dari perilaku klien yang dapat membahayakan dirinya sendiri, klien lain dan bahkan perawat itu sendiri. (Keliat, 1998 hal. 5).
Wujud pelayanan keperawatan untuk menanggulangi klien dengan gangguan jiwa di kenal dengan ”Tri Upaya Bina Jiwa”, yaitu promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. (Dep. Kes. RI, 1990).
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik meneliti tentang tingkat pengetahuan perawat dalam memberikan tindakan keperawatan pada pasien dengan perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Nusa Tenggara Barat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : “Bagaimanakah tingkat pengetahuan perawat dalam memberikan tindakan keperawatan pada pasien dengan masalah utama perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Nusa Tenggara Barat?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan perawat dalam memberikan tindakan keperawatan pada pasien dengan masalah utama perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Nusa Tenggara Barat.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden.
b. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan responden dalam memberikan tindakan keperawatan pada pasien dengan perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Nusa Tenggara Barat.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya yang akan melaksanakan penelitian terutama yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan perawat dalam memberikan tindakan keperawatan pada pasien dengan perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Nusa Tenggara Barat.
2. Manfaat secara praktis
Hasil penelitian ini akan dapat memberi acuan dalam mengidentifikasikan tingkat pengetahuan perawat dan selanjutnya dapat dipakai mencari solusi dalam meningkatkan pengetahuan perawat dalam memberikan tindakan perawatan pada klien dengan perilaku kekerasan, serta memperkaya sumber bacaan di bidang keperawatan serta dapat dijadikan acuan penelitian lebih lanjut.

Pengaruh fisioterapi dada terhadap saturasi O2 pada pasien PPOK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang perlu diwaspadai karena penyakit ini merupakan penyebab kematian dengan nomor urut lima di Indonesia. Faktor-faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut yaitu, kebiasaan merokok yang masih tinggi (80% perokok bisa menderita PPOK), pertambahan penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk, dari 54 tahun pada 1960 menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an. Polusi udara, terutama di lokasi industri dan pertambangan(Surakarya, 2010). PPOK tidak bisa dideteksi dini dan diketahui setelah kondisi pasien memburuk, hal ini disebabkan oleh karena masyarakat yang kurang mengetahui sehingga angka kejadian menjadi lebih tinggi atau meningkat.
Menurut Dr. Suradi, PPOK di Indonesia menduduki urutan kelima penyebab kematian. Sementara di dunia pada tahun 2010 diprediksi akan menduduki urutan ke-4 dan pada dekade mendatang meningkat menjadi pada urutan ke-3 dan tidak disadari angka kejadian semakin meningkat. Di Indonesia tidak ditemukan data akurat tentang kekerapan PPOK. Pada tahun 1997 penderita PPOK yang rawat inap di Rumah Sakit Persahabatan sebanyak 124 orang, sedangkan rawat jalan 1.837 orang. Di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta tahun 2003 ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444 orang dan rawat jalan 2.368 orang, dan data yang didapat di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2006 berjumlah 284 orang, tahun 2007 berjumlah 287 orang 2008 berjumlah 289 orang dengan adanya peningkatan setiap tahunnya.
Pasien PPOK akan mengalami batuk-batuk, sesak nafas secara kronis dan menahun diakibatkan oleh tumpukan mukus yang kental dan mengendap menyebabkan obstruksi jalan nafas, sehingga asupan oksigen tidak adekuat. Pengobatan PPOK secara medis tidak bisa menyembuhkan secara tuntas 100%, untuk mengencerkan mukus diberikan inhalasi atau nebulizer, sedangkan pengobatan berupa suportif dan paliatif hanya untuk mengubah kualitas hidup dengan jalan memenuhi kebutuhan O2. Untuk memenuhi kebutuhan O2 maka pengobatan suportif dan paliatif sangat memegang peranan penting, melalui latihan fisioterapi dada, antara lain: perkusi, vibrasi, drainase, nafas dalam dan batuk efektif. Untuk memudahkan mengeluarkan sekret sehingga jalan nafas menjadi lancar
Sebagian dari jumlah pasien tersebut merupakan orang yang sama dengan keluhan batuk-batuk dan sesak nafas. Selama ini tindakan yang sudah diberikan selain memberikan terapi medis juga dilakukan fisioterapi dada oleh petugas fisioterapi tanpa melakukan pengukuran dengan alat oksimetri, sehingga tidak diketahui berapa saturasi O2 pasien PPOK tersebut. Berdasarkan uraian diatas peneliti merasa tertarik melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Fisioterapi Dada Terhadap Saturasi O2 pada pasien PPOK di Ruang Ratna RSUP Sanglah Denpasar”. Karena Rumah Sakit Sanglah Denpasar merupakan rumah sakit rujukan untuk Indonesia bagian timur, dan salah satu ruang rawat inap untuk pasien gawat darurat adalah ruang Ratna dimana salah satunya pasien yang dirawat adalah pasien PPOK.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas permasalahan yang dapat dirumuskan adalah :
“Bagaimana pengaruh fisioterapi dada terhadap saturasi O2 pada pasien PPOK di ruang Ratna Rumah Sakit Sanglah Denpasar?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fisioterapi dada terhadap saturasi O2 pada pasien PPOK di Ruang Ratna Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi saturasi O2 pasien dengan PPOK sebelum dilakukan fisioterapi dada
b. Mengidentifikasi saturasi O2 pasien dengan PPOK setelah melakukan fisioterapi dada
c. Menganalisis perbedaan saturasi O2 pasien dengan PPOK sebelum dan setelah diberikan fisioterapi dada.



D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai masukan dalam pengembangan ilmu keperawatan khususnya dalam mengembangkan ilmu pemberian asuhan keperawatan yang holistik kepada klien dengan PPOK.
b. Sebagai data untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh tenaga kesehatan terutama perawat sebagai acuan dalam penanganan pasien PPOK.
b. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang manfaat melakukan fisioterapi dada
c. Mendapat pengalaman nyata dalam penulisan di lapangan

Selasa, 24 November 2009

Gambaran Pengetahuan Akseptor Tentang Alat Kontrasepsi

RINGKASAN PENELITIAN

Gambaran Pengetahuan Akseptor Tentang Alat Kontrasepsi

Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) merupakan salah satu alat kontrasepsi jangka panjang yang sangat efektif untuk menjarangkan kelahiran anak. Banyak alasan dapat dikemukakan mengapa AKDR dikembangkan dan diperkenalkan sebagai cara KB yang efektif antara lain AKDR sebagai kontrasepsi yang mempunyai efektifitas tinggi dalam mencegah kehamilan, AKDR merupakan metode kontrasepsi jangka panjang, tidak perlu diganti dan AKDR diutamakan bagi peserta yang sudah cukup anak serta tidak ingin mempunyai anak lagi tetapi belum siap menjalankan kontap.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah masih rendahnya jumlah akseptor yang menggunakan AKDR di Puskesmas Tampaksirin I dimana jumlah kunjungan akseptor AKDR 6 bulan terakhir (Januari- Juni 2009) didapatkan data jumlah akseptor kurang dari 10%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran pengetahuan akseptor tentang AKDR berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan dan paritas serta faktor-faktor/alasan akseptor tidak memilih AKDR.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan jumlah sampel 43 orang dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Tempat dan waktu pengumpulan data ini dilakukan di Puskesmas Tampaksiring I pada bulan September 2009. Populasi dari penelitian ini adalah akseptor yang tidak menggunakan AKDR. Sampel diambil dengan cara Consecutive Sampling, jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang didapatkan langsung dari responden melalui wawancara. Data dikumpulkan dengan metode wawancara terstruktur terhadap responden tentang pengetahuan tentang AKDR, setelah dilakukan analisa data pengetahuan di kelompokkan dalam katagori baik, cukup dan kurang.
Setelah dilakukan pengamatan terhadap responden mengenai tingkat pengetahuan akseptor tentang AKDR didapatkan hasil pengetahuan responden tentang AKDR sebagian besar 17 orang (39,5 %) pengetahuan responden dalam katagori kurang dari indikator pengetahuan tersebut pengertian dan jenis-jenis AKDR merupakan pengetahuan yang paling banyak diketahui oleh responden dimana semua responden (100) dalam katagori baik, sedangkan pengetahuan tentang pemasangan AKDR merupakan pengetahuan yang paling sedikit diketahui oleh responden dimana lebih dari setengah 24 orang reponden (55,8%) responden dalam katagori kurang. Berdasarkan umur sebagian besar 15 orang (34,8%) responden berumur 20-35 tahun. Dilihat dari segi pendidikan sebagian besar 13 orang (30,2%) responden dengan tingkat pendidikan dasar.Berdasarkan pekerjaan sebagian besar 11 orang (25,5) responden tidak bekerja. Sedangkan dari paritas sebagian besar 10 orang (23,3)responden multipara. Sedangkan faktor-faktor/alasan akseptor tidak memilih alat kontrasepsi dalam rahim sebagian besar 76,7% (33) orang responden karena takut sakit saat pemasangan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan pengetahuan akseptor tentang alat kontrasepsi dalam rahim sebagian besar dalam katagori kurang, pengertian dan jenis-jenis AKDR merupakan pengetahuan yang paling banyak diketahui sedangkan pengetahuan tentang pemasangan AKDR merupakan pengetahuan yang paling sedikit diketahui oleh responden. Berdasarkan umur sebagian besar responden yang berumur 20-35 tahun memiliki pengetahuan dalam katagori yang kurang, dari pendidikan sebagian besar responden yang berpendidikan dasar memiliki pengetahuan dalam katagori yang kurang berdasarkan pekerjaan sebagian besar responden yang tidak bekerja memiliki pengetahuan dalam katagori yang kurang dari paritas sebagian besar responden multipara memiliki pengetahuan dalam katagori yang kurang sedangkan faktor-faktor/alasan akseptor tidak memilih alat kontrasepsi dalam rahim sebagian besar karena takut sakit saat pemasangan
Mengacu pada hasil penelitian, maka ada beberapa saran yang yang diajukan sebagai bahan pertimbangan : bagi petugas pelayanan KB, diharapkan memberikan informasi secara terus menerus kepada akseptor yang tidak menggunakan AKDR tentang indikasi pemasangan AKDR, keuntungan, kerugian, kontra indikasi, efek samping/komplikasi dan waktu pemasangan AKDR karena berdasarkan hasil penelitian pengetahuan akseptor tentang AKDR masih kurang, dengan memberikan informasi dan mengevaluasi informasi yang di berikan diharapkan akseptor mempunyai pengetahuan yang lebih baik sehingga Akseptor menjadi tertarik menggunakan AKDR. Kepada Peneliti selanjutnya diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan dalam meneliti lebih lanjut tentang pengetahuan akseptor tentang alat kontrasepsi dalam rahim.

Sabtu, 03 Oktober 2009

PURA TIRTA SUDAMALA


PURA TIRTA SUDAMALA BERLOKASI DI LINGKUNGAN SEDIT, KELURAHAN BEBALANG KECAMATAN DAN KABUPATEN BANGLI,

Senin, 29 Juni 2009

TAK PERSEPSI SENSORI

Sesi 1 mengenal halusinasi
a) Tujuan
(1) Klien dapat mengenal halusinasi
(2) Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi
(3) Klien mengenal situasi terjadinya halusinasi
(4) Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi
b) Setting
(1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
(2) Tempat tenang dan nyaman
c) Alat
(1) Spidol
(2) Papan tulis/whiteboart/flipchat
d) Metode
(1) Diskusi dan Tanya jawab
(2) Bermain peran/stimulasi
e) Langkah Kegiatan
(1) Persiapan
Memilih klien sesuai dengan indikasi, yaitu klien dengan perubahan persepsi sensori : halusinasi, khususnya klien dengan halusinasi pendengaran fase II : condemning. Membuat kontrak dengan klien, mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
(2) Orientasi
• Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien, perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama), menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri papan nama).
• Evaluasi/validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
• Kontrak
- Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal suara-suara yang didengar.
- Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit, setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
(3) Tahap kerja
• Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal suara-suara yang didengar (halusinasi) tentang isinya, waktu terjadinya, situasi terjadinya, dan perasaan klien pada saat terjadi.
• Terapis meminta klien menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang membuat terjadi, dan perasaan klien saat terjadi halusinasi. Mulai dari klien yang sebelah kanan, secara berurutanpai semua klien mendapat giliran. Hasilnya tulis di whiteboard.
• Beri pujian kepada klien yang melakukan dengan baik
• Simpulkan isi, waktu terjadi, situasi terjadi, dan perasaan klien dari suara yang biasa didengar.
(4) Tahap terminasi
• Evaluasi
- Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
- Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
• Tindak lanjut
Terapis meminta klien melaporkan isi, waktu, situasi dan perasaannya jika terjadi halusinasi.
• Kontrak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi, menyepakati waktu dan tempat
f) Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan klien.
Tabel 2.1
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 1

No Nama klien Menyebut isi halusinasi Menyebut waktu terjadi halusinasi Menyebut situasi terjadi halusinasi Menyebut perasaan saat halusinasi
1
2
3
4
5
6
7
8

Petunjuk :
• Tuliskan nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
• untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan mengenal halusinasi : isi, waktu, situasi, dan perasaan. Beri tanda (√) jika klien mampu dan tanda (x) jika klien tidak mampu.



Sesi 2 mengontrol halusinasi dengan menghardik
a) Tujuan
(1) Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi halusinasi.
(2) Klien dapat memahami cara menghardik halusinasi
(3) Klien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi
b) Setting
(1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
(2) Tempat tenang dan nyaman
c) Alat
(1) Spidol
(2) Papan tulis/whiteboart/flipchat
d) Metode
(1) Diskusi dan Tanya jawab
(2) Bermain peran/stimulasi
e) Langkah Kegiatan
(1) Persiapan
• Mengingatkan kontrak kepada klien yang telah mengikuti sesi 1
• Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
(2) Orientasi
• Salam terapeutik
• Salam dari terapis kepada klien, terapis dan klien memakai papan nama.
• Evaluasi/validasi
• Terapis menanyakan perasaan klien saat ini, terapis menanyakan pengalaman halusinasi yang terjadi : isi, waktu, situasi, dan perasaan.
• Kontrak
- Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu dengan latihan satu cara mengontrol halusinasi.
- Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit, setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
(3) Tahap kerja
• Terapis meminta klien menceritakan apa yang dilakukan pada saat mengalami halusinasi, dan bagaimana hasilnya. Ulangi sampai semua klien mendapat giliran.
• Beri pujian kepada klien yang melakukan dengan baik
• Terapis menjelaskan cara mengatasi halusinasi dengan menghardik saat halusinasi muncul.
• Terapis memperagakan cara menghardik halusinasi, yaitu “pergi jangan ganggu saya”, “saya mau bercakap-cakap dengan….”.
• Terapis meminta masing-masing klien memperagakan cara menghardik halusinasi dimulai dari klien sebelah kiri terapis berurutan searah jarum jam sampai semua peserta mendapat giliran.
• Terapis memberikan pujian dan mengajak semua klien bertepuk tangan saat setiap klien selesai memperagakan menghardik halusinasi.
(4) Tahap terminasi
• Evaluasi
- Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
- Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
• Tindak lanjut
Terapis meminta klien melaporkan isi, waktu, situasi dan perasaannya jika terjadi halusinasi.
• Kontrak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, menyepakati waktu dan tempat
f) Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan klien.

Tabel 2.2
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 2

No Aspek yang dinilai Nama klien


1 Menyebutkan cara yang selama ini digunakan mengatasi halusinasi
2 Menyebutkan efektivitas cara
3 Menyebutkan cara mengatasi halusinasi dengan menghardik
4 Memperagakan menghardik halusinasi

Petunjuk :
• Tulis nama klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
• Untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan menyebutkan cara yang bisa digunakan mengatasi halusinasi, menyebutkan efektivitasnya, cara menghardik halusinasi, dan memperagakan. Beri tanda (v), jika klien mampu dan tanda (x) jika klien tidak mampu.






Sesi 3 mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
a) Tujuan
(1) Klien dapat memahami pentingnya melakukan kegiatan untuk mencegah munculnya halusinasi.
(2) Klien dapat menyusun jadwal kegiatan untuk mencegah terjadinya halusinasi.
b) Setting
(1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
(2) Tempat tenang dan nyaman
c) Alat
(1) Jadwal kegiatan harian
(2) Pulpen
(3) Papan tulis/whiteboart/flipchat

d) Metode
(1) Diskusi dan Tanya jawab
(2) Bermain peran/stimulasi
e) Langkah Kegiatan
(1) Persiapan
• Mengingatkan kontrak kepada klien yang telah mengikuti sesi 2
• Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
(2) Orientasi
• Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien, terapis dan klien memakai papan nama.
• Evaluasi/validasi
- Terapis menanyakan perasaan klien saat ini
- Terapis menanyakan cara mengontrol halusinasi yang sudah dipelajari
- Terapis menanyakan pengalaman klien menerapkan
• Kontrak
- Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mencegah terjadinya halusinasi dengan melakukan kegiatan.
- Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit, setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
(3) Tahap kerja
• Terapis menjelaskan cara kedua, yaitu melakukan kegiatan sehari-hari. Jelaskan bahwa dengan melakukan kegiatan yang teratur akan mencegah munculnya halusinasi.
• Terapis meminta tiap-tiap klien menyampaikan kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari, dan tulis di whiteboard.
• Terapis membagikan formulir jadwal kegiatan harian. Terapis menulis formulir yang sama di hiteboard.
• Terapis membimbing satu persatu klien untuk membuat jadwal kegiatan harian, dari bangun tidur sampai tidur malam. Klien menggunakan formulir, terapis menggunakan hiteboard.
• Terapis melatih klien memperagakan kegiatan yang telah disusun.
• Beri pujian dengan tepuk tangan bersama kepada klien yang selesai membuat jadwal dan memperagakan kegiatan.
(4) Tahap terminasi
• Evaluasi
- Terapis menanyakan perasaan klien setelah selesai menyusun jadwal kegiatan dan memperagakannya.
- Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
• Tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien melaksanakan dua cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik dan melakukan kegiatan.
• Kontrak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu belajar cara mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap, menyepakati waktu dan tempat.
f) Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan klien.
Tabel 2.3
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 3

No Aspek yang dinilai Nama klien


1 Menyebutkan kegiatan yang biasa dilakukan
2 Memperagakan kegiatan yang biasa dilakukan
3 Menyusun jadwal kegiatan harian
4 Menyebutkan dua cara mengontrol halusinasi

Petunjuk :
• Tulis nama klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
• Untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan menyebutkan kegiatan harian yang biasa dilakukan, memperagakan salah satu kegiatan, menyusun jadwal kegiatan harian, dan menyebutkan dua cara mencegah halusinasi. Beri tanda (v), jika klien mampu dan tanda (x) jika klien tidak mampu.

Sesi 4 mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
a) Tujuan
(1) Klien dapat memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah munculnya halusinasi.
(2) Klien dapat bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah terjadinya halusinasi.
b) Setting
(1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
(2) Tempat tenang dan nyaman
c) Alat
(1) Jadwal kegiatan harian klien
(2) Pulpen
(3) Papan tulis/whiteboart/flipchat
d) Metode
(1) Diskusi dan Tanya jawab
(2) Bermain peran/stimulasi
e) Langkah Kegiatan
(1) Persiapan
• Mengingatkan kontrak kepada klien yang telah mengikuti sesi 3
• Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
(2) Orientasi
• Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien, terapis dan klien memakai papan nama.
• Evaluasi/validasi
- Terapis menanyakan perasaan klien saat ini
- Terapis menanyakan pengalaman klien setelah menerapkan dua cara yang sudah dipelajari (menghardik, menyibukkan diri dengan kegiatan terarah) untuk mencegah halusinasi.
• Kontrak
- Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mencegah terjadinya halusinasi dengan bercakap-cakap.
- Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit, setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
(3) Tahap kerja
• Terapis menjelaskan pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mengontrol dan mencegah munculnya halusinasi.
• Terapis meminta tiap klien menyebutkan orang yang biasa dan bisa diajak bercakap-cakap.
• Terapis meminta tiap klien menyebutkan pokok pembicaraan yang biasa dan bisa dilakukan.
• Terapis memperagakan cara bercakap-cakap jika halusinasi muncul “suster, ada suara di telinga, saya mau ngobrol saja dengan suster” atau suster saya mau ngobrol tentang kapan saya boleh pulang”.
• Meminta klien untuk memperagakan percakapan dengan orang disebelahnya.
• Beri pujian atas keberhasilan klien.
• Ulangi sampai semua klien mendapat giliran
(4) Tahap terminasi
• Evaluasi
- Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
- Terapis menanyakan TAK mengontrol halusinasinya yang sudah dilatih
- Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
• Tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien melaksanakan tiga cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik, melakukan kegiatan harian dan bercakap-cakap
• Kontrak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu belajar cara mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat, menyepakati waktu dan tempat.
f) Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan klien.

Tabel 2.4
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 4

No Aspek yang dinilai Nama klien


1 Menyebutkan orang yang biasa diajak bercakap-cakap
2 Memperagakan percakapan
3 Menyusun jadwal percakapan
4 Menyebutkan tiga cara mengontrol dan mencegah halusinasi

Petunjuk :
• Tulis nama klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
• Untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan menyebutkan orang yang biasa diajak bercakap-cakap, memperagakan percakapan, menyusun jadwal percakapan, menyebutkan tiga cara mengontrol dan mencegah halusinasi Beri tanda (v), jika klien mampu dan tanda (x) jika klien tidak mampu.


Sesi 5 mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
a) Tujuan
(1) Klien dapat memahami pentingnya minum obat
(2) Klien memahami akibat tidak patuh minum obat
(3) Klien dapat menyebutkan lima benar minum obat
b) Setting
(1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
(2) Tempat tenang dan nyaman
c) Alat
(1) Jadwal kegiatan harian klien
(2) Papan tulis/whiteboart/flipchat
(3) Beberapa contoh obat
d) Metode
(1) Diskusi dan Tanya jawab
(2) Bermain peran/stimulasi
e) Langkah Kegiatan
(1) Persiapan
• Mengingatkan kontrak kepada klien yang telah mengikuti sesi 4
• Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
(2) Orientasi
• Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien, terapis dan klien memakai papan nama.
• Evaluasi/validasi
- Terapis menanyakan perasaan klien saat ini
- Terapis menanyakan pengalaman klien setelah menerapkan tiga cara yang sudah dipelajari (menghardik, menyibukkan diri dengan kegiatan terarah dan bercakap-cakap) untuk mencegah halusinasi.
• Kontrak
- Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.
- Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit, setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
(3) Tahap kerja
• Terapis menjelaskan untungnya patuh minum obat, yaitu mencegah kambuh karena obat memberi perasaan tenang, dan memperlambat kambuh.
• Terapis menjelaskan kerugian tidak patuh minum obat yaitu penyabab kambuh
• Terapis meminta tiap klien menyampaikan obat yang dimakan dan waktu memakannya. Buat daftar di white board.
• Menjelaskan lima benar minum obat, yaitu benar obat, benar waktu minum obat, benar orang yang minum obat, benar cara minum obat, dan benar dosis minum obat.
• Terapis meminta tiap klien menyebutkan lima benar minum obat secara bergiliran.
• Berikan pujian pada klien yang benar
• Mendiskusikan perasaan klien sebelum minum obat (catat di white board).
• Mendiskusikan perasaan klien setelah teratur minum obat (catat di white board).
• Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu cara mencegah halusinasi/kambuh.
• Menjelaskan akibat/kerugian tidak patuh minum obat, yaitu menjadi halusinasi/kambuh.
• Minta klien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat dan kerugian tidak patuh minum obat.
• Memberi pujian tiap kaliklien benar.
(4) Tahap terminasi
• Evaluasi
- Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
- Terapis menanyakan jumlah cara mengontrol halusinasinya yang sudah dipelajari.
- Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
• Tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien melaksanakan empat cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik, melakukan kegiatan harian, bercakap-cakap dan patuh minum obat.
• Kontrak yang akan datang
- Terapis mengakhiri sesi terapi aktifitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi.
- Buat kesepakatan baru untuk TAK yang lain sesuai dengan indikasi klien.


f) Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan klien.
Tabel 2.5
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 5

No Nama klien Menyebutkan 5 benar cara minum obat Menyebutkan keuntungan minum obat Menyebutkan akibat tidak patuh minum obat
1
2
3
4
5
6
7
8

Petunjuk :
• Tulis nama klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
• Untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan menyebutkan 5 benar minum obat, keuntungan minum obat dan akibat tidak patuh minum obat. Beri tanda (v), jika klien mampu dan tanda (x) jika klien tidak mampu.

PENGARUH TAK : STIMULASI PERSEPSI TERHADAP TINGKAH LAKU KLIEN DENGAN HALUSINASI PENDENGARAN DI BPK RSJ PROPINSI BALI PENELITIAN QUASY-EXPERIMENT

BAB 1

1.1 Latar Belakang
Sebagian besar klien yang menderita skizofrenia yang dirawat di BPK RSJ Propinsi Bali masuk rumah sakit dengan riwayat mengalami halusinasi pada fase III dan fase IV. Dari catatan medik dan perawatan klien, rata-rata 7-14 hari setelah mendapat pengobatan dan tindakan keperawatan gejala halusinasi yang dialami klien sudah menghilang. Akan tetapi kenyataan yang peneliti temukan dilapangan halusinasi yang dialami klien seperti siklus yang berulang yaitu klien yang dulunya mengalami gejala halusinasi setelah mendapat pengobatan kemudian gejala halusinasinya hilang akan tetapi beberapa lama kemudian klien kembali mengalami halusinasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kejadian klien yang sudah tenang, tiba-tiba kembali gelisah seperti keadaan saat masuk rumah sakit. Factor utama yang menyebabkan klien kembali mengalami halusinasi adalah kurangnya perhatian dari keluarga selama klien dirawat, dimana klien yang kembali mengalami halusinasi kebanyakan jarang dikunjungi oleh keluarga dan sudah menjalani perawatan lebih dari 6 bulan. Ini dibuktikan dengan keluhan yang paling sering dikatakan oleh klien adalah klien merasa dikucilkan karena tidak pernah dikunjungi dan tidak dijemput pulang oleh keluarga walaupun sudah baikan. Hal ini dapat menjadi sumber tekanan, rasa frustasi dan konflik bagi klien, sehingga klien harus mengadakan adaptasi dan menanggulangi stressor tersebut. Tetapi klien dengan gangguan jiwa kemampuan untuk menghadapi dan menanggulangi stressor sangat kurang sehingga akhirnya klien menjadi stress. Klien yang mengalami halusinasi sering kali beranggapan sumber atau penyebab halusinasi itu berasal dari lingkungannya, padahal rangsangan primer dari halusinasi adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi, marah, rasa takut ditinggalkan oleh orang yang dicintai, tidak dapat mengendalikan dorongan ego, pikiran dan perasaannya sendiri. Gejala halusinasi baru disadari lingkungan pada saat klien mengalami periode akut yaitu, ketika timbul gejala positif seperti gaduh dan gelisah, tidak bisa tenang, selalu ingin bergerak, juga merasa mendengar, melihat, mencium atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tak ada (halusinasi). Karenanya pasien sering bicara atau tertawa sendiri seperti ada yang memerintahnya dari dunia luar, jadi perbuatan yang dilakukan diluar akal normal (Chaery Indra dalam http://www.jambi-independent.co.id/home, 21 Juli 2007, jam 17.15 wita. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh klien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan. Dimana klien mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak lingkungan. Aktifitas fisik merefleksi isi halusinasi seperti ; perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonia. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang komplek. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang. (Hawari dalam www.schizophrenia.com/21 Juli 2007, jam 16.25 wita).
Melalui survey kesehatan jiwa yang dilakukan pada penduduk 11 kota terpilih di Indonesia, dilaporkan prevalensi gangguan kesehatan jiwa sebesar 185 orang pada 1000 penduduk. Ini berarti bahwa disetiap rumah tangga yang terdiri dari 5-6 anggota keluarga terdapat satu orang yang menderita gangguan jiwa (Soejono dalam www.republika.co.id/koran_detail/21 Juli 2007, jam 16 50 wita. Dari hasil survey di rumah sakit di Indonesia, ada 0,5-1,5 perseribu penduduk mengalami gangguan jiwa. Sedangkan di jumlahnya berkisar antara 0,5-1 perseribu penduduk. Selain itu resiko penyakit ini lebih rentan dari keluarga penderita. Gangguan jiwa salah satunya adalah Schizophrenia dapat menimpa siapa pun, terutama orang yang memiliki keturunan secara genetis. Episode kegilaan pertama umumnya terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa. Pada anak yang kedua orang tuanya tidak menderita schizophrenia, kemungkinan terkena penyakit ini adalah satu persen. Sementara pada anak yang salah satu orang tuanya menderita schizophrenia, kemungkinan terkena adalah 13 persen. Dan jika kedua orang tua menderita schizophrenia maka risiko terkena adalah 35 persen. (Chaery Indra dalam http://www.jambi-independent.co.id/home, 21 Juli 2007, jam 17.15 wita. Hasil survey pendahuluan yang peneliti lakukan pada tanggal 30 Mei 2007 di BPK RSJ Propinsi Bali pada klien yang dirawat inap dengan perubahan persepsi sensori cukup banyak. Dari kapasitas rumah sakit 275 orang, klien yang dirawat inap berjumlah 246 orang, 66 orang (26,8 %) dengan perubahan persepsi sensori, 40 orang (16,2 %) dengan gangguan proses pikir, 59 orang (23,9 %) dengan gangguan hubungan social, 27 orang (10,9 %) dengan gangguan konsep diri, 21 orang (8,5 %) dengan perilaku kekerasan, 3 orang (1,2 %) dengan dimensia, 10 orang (4,1 %) dengan gangguan mental organic, 15 orang (6,2 %) dengan gangguan alam perasaan, ketergantungan obat 5 orang (2,2 %). Dari 66 klien yang mengalami perubahan persepsi, 12 orang (18,1 %) mengalami ilusi, 54 orang (81,9 %) mengalami halusinasi. Dari 54 orang yang mengalami halusinasi, 42 orang (77,8 %) mengalami halusinasi pendengaran dan 12 orang (22,2 %) mengalami halusinasi penglihatan. Dari 42 orang yang mengalami halusinasi pendengaran, 8 orang (33,3 %) pada fase I : Comforting, 25 orang (52,5 %) pada fase II : condemning, 6 orang (19,1 %) pada fase III : controlling dan 3 orang (7,1 %) pada fase IV : conquering.
Terjadinya kekambuhan pada klien yang sedang dirawat di BPK RSJ Propinsi Bali terutama pada klien yang mengalami gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran disebabkan karena ketidakmampuan klien dalam mengadapi stressor dan kurangnya kemampuan dalam mengenal dan cara mengontrol halusinasi. Adanya ancaman terhadap kebutuhan akan menyebabkan seseorang akan berusaha menanggulangi ancaman tersebut dengan mengadakan adaptasi, pada klien dengan gangguan jiwa kemampuan untuk menghadapi stressor sangat kurang disertai ketidakmampuan untuk mengadakan adaptasi akan mengakibatkan terjadinya kekambuhan. Dari survey pendahuluan yang peneliti lakukan sebagian besar klien dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi mengalami gangguan dalam berhubungan dengan orang lain (menarik diri). Adanya gangguan dalam berhubungan dengan orang lain akan mengakibatkan kurangnya kemampuan untuk mengungkapkan masalah yang mereka hadapi kepada orang lain, bila ada masalah klien cenderung akan memendamnya sendiri dan berusaha mencari solusi pemecahan dengan caranya sendiri. Karena berperilaku menarik diri mereka biasanya mereka akan mulai dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan bagi dirinya, apabila hal ini terus menerus berlangsung maka klien akan mengalami gangguan dalam mempersepsikan stimulus yang dialami. Halusinasi benar-benar riil dirasakan oleh klien yang mengalami, ketidakmampuan untuk mempersepsikan stimulus secara riil akan menyulitkan kehidupan klien. Halusinasi yang dialami oleh klien berbeda intensitas dan keparahannya. Halusinasi di bagi dalam 4 fase yang berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya. Ada empat fase halusinasi yaitu : ansietas sedang (comforting), ansietas berat I (condemning), ansietas berat II (controling), dan panic (conguering). Perilaku klien akibat panik dapat meyebabkan terjadinya suicide atau homicide. Hawari dalam www.schizophrenia.com/21 Juli 2007, jam 16.25 wita).
Angka klien yang dirawat di BPK RSJ Propinsi Bali dengan halusinasi pendengaran cukup tinggi, hal ini tentunya perlu mendapat perhatian serta penanganan yang serius karena semakin awal pasien ditangani dapat mencegah klien mengalami fase yang lebih berat sehingga resiko kekerasan dengan sendirinya dapat dicegah. Penanganan klien tidak hanya ditekankan dari aspek pengobatan saja karena Keberhasilan pengobatan akan bertambah bila terapi ditambah dengan terapi holistik, yang meliputi terapi psikososial dan vokasional. Tindakan keperawatan yang tepat untuk mengatasi halusinasi dimulai dengan melakukan hubungan saling percaya dengan pasien. Selanjutnya membantu pasien mengenal halusinasi dan membantu mengontrol halusinasi. Pelaksanaan pengenalan dan pengontrolan halusinasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kelompok dan individu. Secara kelompok selama ini sudah kita kenal dengan istilah terapi aktifitas kelompok (TAK) dan secara individu dengan cara face to face ( interaksi). Penggunaan kelompok dalam praktek keperawatan jiwa memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, pengobatan, atau terapi serta pemulihan kesehatan jiwa seseorang. Meningkatnya penggunaan terapi modalitas merupakan bagian dan memberikan hasil yang positif terhadap perilaku pasien. Dan juga dinamika kelompok tersebut membantu individu atau pasien meningkatkan perilaku adaptif dan mengurangi perilaku maladaptive. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh individu atau klien melalui aktivitas kelompok meliputi dukungan (support), pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan hubungan. Terapi aktifitas kelompok dibagi empat yaitu : terapi aktifitas kelompok sosialisasi, stimulasi persepsi, stimulasi sensori, dan orientasi realita. Terapi aktifitas kelompok stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktifitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dan atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesian masalah. Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya. Metode TAK selama ini belum dilaksanakan oleh perawat di BPK RSJ Propinsi Balioleh sebab itu peneliti tertarik ingin mengkaji pengaruh terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi terhadap tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh terapi aktivitas kelompok (TAK) : stimulasi persepsi terhadap tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran?.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mempelajari pengaruh terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi terhadap tingkah klien dengan halusinasi pendengaran.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran sebelum di berikan terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi .
b. Mengidentifikasi tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran setelah di berikan terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi.
c. Menganalisis pengaruh terapi aktivitas kelompok : stimulasi terhadap tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran sebelum dan sesudah terapi



1.3 Manfaat
1.3.2 Secara Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan jiwa, terutama dalam penerapan terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi terhadap klien dengan halusinasi pendengaran.
1.3.3 Secara Praktis
a. Memberikan imformasi agar ditindaklanjuti guna meningkatkan mutu pelayanan keperawatan jiwa di BPK RSJ Propinsi Bali.
b. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan perubahan persepsi sensori : halusinasi, dapat dijadikan sebagai pedoman agar perawat berperan memberikan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi, sehingga klien dapat mengenal halusinasinya, dapat mengusir/menghardik halusinasinya, dapat mengontrol halusinasinya dengan melakukan kegiatan dan bercakap-cakap serta dapat mengontrol halusinasinya dengan patuh minum obat.
c. Dengan melaksanakan terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi, klien mendapat pelayanan yang berkualitas dan segera kembali kepada keluarga dengan kondisi yang sesuai dengan tata nilai pada masyarakat.

PENGARUH MENYUSUI TERHADAP PERCEPATAN PENURUNAN FUNDUS UTERI PADA IBU POST PARTUM HARI PERTAMA DAN KEDUA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa nifas secara harfiah didefinisikan sebagai masa segera setelah kelahiran, masa ini juga meliputi minggu-minggu berikutnya pada waktu saluran reproduksi kembali ke keadaan tidak hamil yang normal, umumnya berlangsung 6 minggu atau tidak lama sesudahnya. Selama masa ini, saluran reproduksi anatominya kembali ke keadaan tak hamil normal, yang meliputi perubahan pada corpus uteri, struktur permanen pada cerviks, vagina dan perineum sebagai akibat persalinan dan kelahiran. Proses involusi tersebut dipengaruhi oleh status gizi, parietas,usia, pendidikan, menyusui, dan senam nifas karena dapat mengakibatkan kontraksi uterus lebih baik dan pengeluaran lokhea lebih lancar (Cunningham, 1995).
Proses pemulihan kesehatan pada masa nifas merupakan hal yang sangat penting bagi ibu setelah melahirkan. Sebab selama masa kehamilan dan persalinan telah terjadi perubahan fisik dan psikis. Perubahan fisik meliputi ligament-ligament bersifat lembut dan kendor, otot-otot teregang, uterus membesar, postur tubuh berubah sebagai kompensasi terhadap perubahan berat badan pada masa hamil, serta terjadi bendungan pada tungkai bawah. Pada saat persalinan dinding panggul selalu teregang dan mungkin terjadi kerusakan pada jalan lahir, serta setelah persalinan otot-otot dasar panggul menjadi longgar karena diregang begitu lama pada saat hamil maupun bersalin (Sarwono, 1994).
Dalam masa nifas alat-alat genetalia internal maupun eksterna akan berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan-perubahan alat genital dalam keseluruhannya disebut involusi. Salah satu komponen involusio adalah penurunan fundus uteri. Di samping involusi, terjadi juga perubahan-perubahan penting yakni laktasi dan gangguan laktasi merupakan salah satu penyebab penurunan fundus uteri terganggu (Hanifa, 1999).
Apabila proses involusi ini tidak berjalan dengan baik maka akan timbul suatu keadaan yang disebut sub involusi uteri yang akan menyebabkan terjadinya perdarahan yang mungkin terjadi dalam masa 40 hari, hal ini mungkin disebabkan karena ibu tidak mau menyusui, takut untuk mobilisasi atau aktifitas yang kurang (Hanifa, 1999).
Berdasarkan catatan rekam medis di Ruang…….RSIA Puri Bunda Denpasar, masih didapatkan kasus sub involusi uteri sebanyak ……..kasus dari ….. pasien dalam waktu 6 bulan ( ….. - ……. 200…) dan hal ini salah satunya disebabkan karena ibu tidak mau menyusui akibat kondisi ibu dan bayinya yang tidak memungkinkan atau pengetahuan ibu yang kurang mengenai pemberian ASI. Hal ini mempunyai dampak yang berbahaya terhadap jiwa ibu karena dapat menimbulkan perdarahan.
Masa nifas hari pertama adalah masa kritis yang rentan sekali terjadi perdarahan, karena kontraksi uterus yang lemah akibat berkurangnya kadar oksitosin yang di sekresi oleh kelenjar hipofise posterior, maka asuhan masa nifas pada masa ini sangat di perlukan. Salah satu merangsang oksitosin adalah dengan cara rangsangan pada puting atau menyusui. Diperkirakan bahwa 60 % kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama yang sebagian basar disebabkan karena perdarahan post partum (Abdul Bari, 2000). Berdasarkan fenomena diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang pengaruh menyusui terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh menyusui terhadap percepatan penurunan fundus uteri pada ibu post partum hari pertama dan kedua ?

C. Tujuan Penelitian
1. Umum :
Untuk mengetahui pengaruh menyusui terhadap percepatan penurunan fundus uteri pada ibu post partum hari pertama dan kedua.
2. Khusus :
a. Mengetahui percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum yang menyusui hari pertama dan kedua.
b. Mengetahui percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum yang tidak menyusui hari pertama dan kedua.
c. Membandingkan percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum yang menyusui dan tidak menyusui hari pertama dan kedua.
d. Menganalisis pengaruh menyusui terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum hari pertama dan kedua.



D. Manfaat penelitian
1. Bagi ibu
Memberi pedoman bagi ibu atau masukan bahwa menyusui dapat berfungsi untuk mempercepat involusio uterus.
2. Bagi tenaga kesehatan
Menambah informasi atau pengetahuan tentang menyusui agar dapat memberi edukasi pada pasien.
3. Bagi penelitian yang akan datang
Dapat meneruskan penelitian tentang menyusui terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri.
4. Bagi institusi
Dapat menambah kepustakaan atau literatur tentang manfaat menyusui terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri.