Senin, 29 Juni 2009

TAK PERSEPSI SENSORI

Sesi 1 mengenal halusinasi
a) Tujuan
(1) Klien dapat mengenal halusinasi
(2) Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi
(3) Klien mengenal situasi terjadinya halusinasi
(4) Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi
b) Setting
(1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
(2) Tempat tenang dan nyaman
c) Alat
(1) Spidol
(2) Papan tulis/whiteboart/flipchat
d) Metode
(1) Diskusi dan Tanya jawab
(2) Bermain peran/stimulasi
e) Langkah Kegiatan
(1) Persiapan
Memilih klien sesuai dengan indikasi, yaitu klien dengan perubahan persepsi sensori : halusinasi, khususnya klien dengan halusinasi pendengaran fase II : condemning. Membuat kontrak dengan klien, mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
(2) Orientasi
• Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien, perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama), menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri papan nama).
• Evaluasi/validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
• Kontrak
- Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal suara-suara yang didengar.
- Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit, setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
(3) Tahap kerja
• Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal suara-suara yang didengar (halusinasi) tentang isinya, waktu terjadinya, situasi terjadinya, dan perasaan klien pada saat terjadi.
• Terapis meminta klien menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang membuat terjadi, dan perasaan klien saat terjadi halusinasi. Mulai dari klien yang sebelah kanan, secara berurutanpai semua klien mendapat giliran. Hasilnya tulis di whiteboard.
• Beri pujian kepada klien yang melakukan dengan baik
• Simpulkan isi, waktu terjadi, situasi terjadi, dan perasaan klien dari suara yang biasa didengar.
(4) Tahap terminasi
• Evaluasi
- Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
- Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
• Tindak lanjut
Terapis meminta klien melaporkan isi, waktu, situasi dan perasaannya jika terjadi halusinasi.
• Kontrak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi, menyepakati waktu dan tempat
f) Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan klien.
Tabel 2.1
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 1

No Nama klien Menyebut isi halusinasi Menyebut waktu terjadi halusinasi Menyebut situasi terjadi halusinasi Menyebut perasaan saat halusinasi
1
2
3
4
5
6
7
8

Petunjuk :
• Tuliskan nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
• untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan mengenal halusinasi : isi, waktu, situasi, dan perasaan. Beri tanda (√) jika klien mampu dan tanda (x) jika klien tidak mampu.



Sesi 2 mengontrol halusinasi dengan menghardik
a) Tujuan
(1) Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi halusinasi.
(2) Klien dapat memahami cara menghardik halusinasi
(3) Klien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi
b) Setting
(1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
(2) Tempat tenang dan nyaman
c) Alat
(1) Spidol
(2) Papan tulis/whiteboart/flipchat
d) Metode
(1) Diskusi dan Tanya jawab
(2) Bermain peran/stimulasi
e) Langkah Kegiatan
(1) Persiapan
• Mengingatkan kontrak kepada klien yang telah mengikuti sesi 1
• Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
(2) Orientasi
• Salam terapeutik
• Salam dari terapis kepada klien, terapis dan klien memakai papan nama.
• Evaluasi/validasi
• Terapis menanyakan perasaan klien saat ini, terapis menanyakan pengalaman halusinasi yang terjadi : isi, waktu, situasi, dan perasaan.
• Kontrak
- Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu dengan latihan satu cara mengontrol halusinasi.
- Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit, setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
(3) Tahap kerja
• Terapis meminta klien menceritakan apa yang dilakukan pada saat mengalami halusinasi, dan bagaimana hasilnya. Ulangi sampai semua klien mendapat giliran.
• Beri pujian kepada klien yang melakukan dengan baik
• Terapis menjelaskan cara mengatasi halusinasi dengan menghardik saat halusinasi muncul.
• Terapis memperagakan cara menghardik halusinasi, yaitu “pergi jangan ganggu saya”, “saya mau bercakap-cakap dengan….”.
• Terapis meminta masing-masing klien memperagakan cara menghardik halusinasi dimulai dari klien sebelah kiri terapis berurutan searah jarum jam sampai semua peserta mendapat giliran.
• Terapis memberikan pujian dan mengajak semua klien bertepuk tangan saat setiap klien selesai memperagakan menghardik halusinasi.
(4) Tahap terminasi
• Evaluasi
- Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
- Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
• Tindak lanjut
Terapis meminta klien melaporkan isi, waktu, situasi dan perasaannya jika terjadi halusinasi.
• Kontrak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, menyepakati waktu dan tempat
f) Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan klien.

Tabel 2.2
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 2

No Aspek yang dinilai Nama klien


1 Menyebutkan cara yang selama ini digunakan mengatasi halusinasi
2 Menyebutkan efektivitas cara
3 Menyebutkan cara mengatasi halusinasi dengan menghardik
4 Memperagakan menghardik halusinasi

Petunjuk :
• Tulis nama klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
• Untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan menyebutkan cara yang bisa digunakan mengatasi halusinasi, menyebutkan efektivitasnya, cara menghardik halusinasi, dan memperagakan. Beri tanda (v), jika klien mampu dan tanda (x) jika klien tidak mampu.






Sesi 3 mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
a) Tujuan
(1) Klien dapat memahami pentingnya melakukan kegiatan untuk mencegah munculnya halusinasi.
(2) Klien dapat menyusun jadwal kegiatan untuk mencegah terjadinya halusinasi.
b) Setting
(1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
(2) Tempat tenang dan nyaman
c) Alat
(1) Jadwal kegiatan harian
(2) Pulpen
(3) Papan tulis/whiteboart/flipchat

d) Metode
(1) Diskusi dan Tanya jawab
(2) Bermain peran/stimulasi
e) Langkah Kegiatan
(1) Persiapan
• Mengingatkan kontrak kepada klien yang telah mengikuti sesi 2
• Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
(2) Orientasi
• Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien, terapis dan klien memakai papan nama.
• Evaluasi/validasi
- Terapis menanyakan perasaan klien saat ini
- Terapis menanyakan cara mengontrol halusinasi yang sudah dipelajari
- Terapis menanyakan pengalaman klien menerapkan
• Kontrak
- Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mencegah terjadinya halusinasi dengan melakukan kegiatan.
- Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit, setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
(3) Tahap kerja
• Terapis menjelaskan cara kedua, yaitu melakukan kegiatan sehari-hari. Jelaskan bahwa dengan melakukan kegiatan yang teratur akan mencegah munculnya halusinasi.
• Terapis meminta tiap-tiap klien menyampaikan kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari, dan tulis di whiteboard.
• Terapis membagikan formulir jadwal kegiatan harian. Terapis menulis formulir yang sama di hiteboard.
• Terapis membimbing satu persatu klien untuk membuat jadwal kegiatan harian, dari bangun tidur sampai tidur malam. Klien menggunakan formulir, terapis menggunakan hiteboard.
• Terapis melatih klien memperagakan kegiatan yang telah disusun.
• Beri pujian dengan tepuk tangan bersama kepada klien yang selesai membuat jadwal dan memperagakan kegiatan.
(4) Tahap terminasi
• Evaluasi
- Terapis menanyakan perasaan klien setelah selesai menyusun jadwal kegiatan dan memperagakannya.
- Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
• Tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien melaksanakan dua cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik dan melakukan kegiatan.
• Kontrak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu belajar cara mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap, menyepakati waktu dan tempat.
f) Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan klien.
Tabel 2.3
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 3

No Aspek yang dinilai Nama klien


1 Menyebutkan kegiatan yang biasa dilakukan
2 Memperagakan kegiatan yang biasa dilakukan
3 Menyusun jadwal kegiatan harian
4 Menyebutkan dua cara mengontrol halusinasi

Petunjuk :
• Tulis nama klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
• Untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan menyebutkan kegiatan harian yang biasa dilakukan, memperagakan salah satu kegiatan, menyusun jadwal kegiatan harian, dan menyebutkan dua cara mencegah halusinasi. Beri tanda (v), jika klien mampu dan tanda (x) jika klien tidak mampu.

Sesi 4 mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
a) Tujuan
(1) Klien dapat memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah munculnya halusinasi.
(2) Klien dapat bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah terjadinya halusinasi.
b) Setting
(1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
(2) Tempat tenang dan nyaman
c) Alat
(1) Jadwal kegiatan harian klien
(2) Pulpen
(3) Papan tulis/whiteboart/flipchat
d) Metode
(1) Diskusi dan Tanya jawab
(2) Bermain peran/stimulasi
e) Langkah Kegiatan
(1) Persiapan
• Mengingatkan kontrak kepada klien yang telah mengikuti sesi 3
• Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
(2) Orientasi
• Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien, terapis dan klien memakai papan nama.
• Evaluasi/validasi
- Terapis menanyakan perasaan klien saat ini
- Terapis menanyakan pengalaman klien setelah menerapkan dua cara yang sudah dipelajari (menghardik, menyibukkan diri dengan kegiatan terarah) untuk mencegah halusinasi.
• Kontrak
- Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mencegah terjadinya halusinasi dengan bercakap-cakap.
- Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit, setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
(3) Tahap kerja
• Terapis menjelaskan pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mengontrol dan mencegah munculnya halusinasi.
• Terapis meminta tiap klien menyebutkan orang yang biasa dan bisa diajak bercakap-cakap.
• Terapis meminta tiap klien menyebutkan pokok pembicaraan yang biasa dan bisa dilakukan.
• Terapis memperagakan cara bercakap-cakap jika halusinasi muncul “suster, ada suara di telinga, saya mau ngobrol saja dengan suster” atau suster saya mau ngobrol tentang kapan saya boleh pulang”.
• Meminta klien untuk memperagakan percakapan dengan orang disebelahnya.
• Beri pujian atas keberhasilan klien.
• Ulangi sampai semua klien mendapat giliran
(4) Tahap terminasi
• Evaluasi
- Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
- Terapis menanyakan TAK mengontrol halusinasinya yang sudah dilatih
- Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
• Tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien melaksanakan tiga cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik, melakukan kegiatan harian dan bercakap-cakap
• Kontrak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu belajar cara mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat, menyepakati waktu dan tempat.
f) Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan klien.

Tabel 2.4
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 4

No Aspek yang dinilai Nama klien


1 Menyebutkan orang yang biasa diajak bercakap-cakap
2 Memperagakan percakapan
3 Menyusun jadwal percakapan
4 Menyebutkan tiga cara mengontrol dan mencegah halusinasi

Petunjuk :
• Tulis nama klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
• Untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan menyebutkan orang yang biasa diajak bercakap-cakap, memperagakan percakapan, menyusun jadwal percakapan, menyebutkan tiga cara mengontrol dan mencegah halusinasi Beri tanda (v), jika klien mampu dan tanda (x) jika klien tidak mampu.


Sesi 5 mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
a) Tujuan
(1) Klien dapat memahami pentingnya minum obat
(2) Klien memahami akibat tidak patuh minum obat
(3) Klien dapat menyebutkan lima benar minum obat
b) Setting
(1) Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
(2) Tempat tenang dan nyaman
c) Alat
(1) Jadwal kegiatan harian klien
(2) Papan tulis/whiteboart/flipchat
(3) Beberapa contoh obat
d) Metode
(1) Diskusi dan Tanya jawab
(2) Bermain peran/stimulasi
e) Langkah Kegiatan
(1) Persiapan
• Mengingatkan kontrak kepada klien yang telah mengikuti sesi 4
• Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
(2) Orientasi
• Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien, terapis dan klien memakai papan nama.
• Evaluasi/validasi
- Terapis menanyakan perasaan klien saat ini
- Terapis menanyakan pengalaman klien setelah menerapkan tiga cara yang sudah dipelajari (menghardik, menyibukkan diri dengan kegiatan terarah dan bercakap-cakap) untuk mencegah halusinasi.
• Kontrak
- Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.
- Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit, setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
(3) Tahap kerja
• Terapis menjelaskan untungnya patuh minum obat, yaitu mencegah kambuh karena obat memberi perasaan tenang, dan memperlambat kambuh.
• Terapis menjelaskan kerugian tidak patuh minum obat yaitu penyabab kambuh
• Terapis meminta tiap klien menyampaikan obat yang dimakan dan waktu memakannya. Buat daftar di white board.
• Menjelaskan lima benar minum obat, yaitu benar obat, benar waktu minum obat, benar orang yang minum obat, benar cara minum obat, dan benar dosis minum obat.
• Terapis meminta tiap klien menyebutkan lima benar minum obat secara bergiliran.
• Berikan pujian pada klien yang benar
• Mendiskusikan perasaan klien sebelum minum obat (catat di white board).
• Mendiskusikan perasaan klien setelah teratur minum obat (catat di white board).
• Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu cara mencegah halusinasi/kambuh.
• Menjelaskan akibat/kerugian tidak patuh minum obat, yaitu menjadi halusinasi/kambuh.
• Minta klien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat dan kerugian tidak patuh minum obat.
• Memberi pujian tiap kaliklien benar.
(4) Tahap terminasi
• Evaluasi
- Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
- Terapis menanyakan jumlah cara mengontrol halusinasinya yang sudah dipelajari.
- Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
• Tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien melaksanakan empat cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik, melakukan kegiatan harian, bercakap-cakap dan patuh minum obat.
• Kontrak yang akan datang
- Terapis mengakhiri sesi terapi aktifitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi.
- Buat kesepakatan baru untuk TAK yang lain sesuai dengan indikasi klien.


f) Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan klien.
Tabel 2.5
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 5

No Nama klien Menyebutkan 5 benar cara minum obat Menyebutkan keuntungan minum obat Menyebutkan akibat tidak patuh minum obat
1
2
3
4
5
6
7
8

Petunjuk :
• Tulis nama klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
• Untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan menyebutkan 5 benar minum obat, keuntungan minum obat dan akibat tidak patuh minum obat. Beri tanda (v), jika klien mampu dan tanda (x) jika klien tidak mampu.

PENGARUH TAK : STIMULASI PERSEPSI TERHADAP TINGKAH LAKU KLIEN DENGAN HALUSINASI PENDENGARAN DI BPK RSJ PROPINSI BALI PENELITIAN QUASY-EXPERIMENT

BAB 1

1.1 Latar Belakang
Sebagian besar klien yang menderita skizofrenia yang dirawat di BPK RSJ Propinsi Bali masuk rumah sakit dengan riwayat mengalami halusinasi pada fase III dan fase IV. Dari catatan medik dan perawatan klien, rata-rata 7-14 hari setelah mendapat pengobatan dan tindakan keperawatan gejala halusinasi yang dialami klien sudah menghilang. Akan tetapi kenyataan yang peneliti temukan dilapangan halusinasi yang dialami klien seperti siklus yang berulang yaitu klien yang dulunya mengalami gejala halusinasi setelah mendapat pengobatan kemudian gejala halusinasinya hilang akan tetapi beberapa lama kemudian klien kembali mengalami halusinasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kejadian klien yang sudah tenang, tiba-tiba kembali gelisah seperti keadaan saat masuk rumah sakit. Factor utama yang menyebabkan klien kembali mengalami halusinasi adalah kurangnya perhatian dari keluarga selama klien dirawat, dimana klien yang kembali mengalami halusinasi kebanyakan jarang dikunjungi oleh keluarga dan sudah menjalani perawatan lebih dari 6 bulan. Ini dibuktikan dengan keluhan yang paling sering dikatakan oleh klien adalah klien merasa dikucilkan karena tidak pernah dikunjungi dan tidak dijemput pulang oleh keluarga walaupun sudah baikan. Hal ini dapat menjadi sumber tekanan, rasa frustasi dan konflik bagi klien, sehingga klien harus mengadakan adaptasi dan menanggulangi stressor tersebut. Tetapi klien dengan gangguan jiwa kemampuan untuk menghadapi dan menanggulangi stressor sangat kurang sehingga akhirnya klien menjadi stress. Klien yang mengalami halusinasi sering kali beranggapan sumber atau penyebab halusinasi itu berasal dari lingkungannya, padahal rangsangan primer dari halusinasi adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi, marah, rasa takut ditinggalkan oleh orang yang dicintai, tidak dapat mengendalikan dorongan ego, pikiran dan perasaannya sendiri. Gejala halusinasi baru disadari lingkungan pada saat klien mengalami periode akut yaitu, ketika timbul gejala positif seperti gaduh dan gelisah, tidak bisa tenang, selalu ingin bergerak, juga merasa mendengar, melihat, mencium atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tak ada (halusinasi). Karenanya pasien sering bicara atau tertawa sendiri seperti ada yang memerintahnya dari dunia luar, jadi perbuatan yang dilakukan diluar akal normal (Chaery Indra dalam http://www.jambi-independent.co.id/home, 21 Juli 2007, jam 17.15 wita. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh klien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan. Dimana klien mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak lingkungan. Aktifitas fisik merefleksi isi halusinasi seperti ; perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonia. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang komplek. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang. (Hawari dalam www.schizophrenia.com/21 Juli 2007, jam 16.25 wita).
Melalui survey kesehatan jiwa yang dilakukan pada penduduk 11 kota terpilih di Indonesia, dilaporkan prevalensi gangguan kesehatan jiwa sebesar 185 orang pada 1000 penduduk. Ini berarti bahwa disetiap rumah tangga yang terdiri dari 5-6 anggota keluarga terdapat satu orang yang menderita gangguan jiwa (Soejono dalam www.republika.co.id/koran_detail/21 Juli 2007, jam 16 50 wita. Dari hasil survey di rumah sakit di Indonesia, ada 0,5-1,5 perseribu penduduk mengalami gangguan jiwa. Sedangkan di jumlahnya berkisar antara 0,5-1 perseribu penduduk. Selain itu resiko penyakit ini lebih rentan dari keluarga penderita. Gangguan jiwa salah satunya adalah Schizophrenia dapat menimpa siapa pun, terutama orang yang memiliki keturunan secara genetis. Episode kegilaan pertama umumnya terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa. Pada anak yang kedua orang tuanya tidak menderita schizophrenia, kemungkinan terkena penyakit ini adalah satu persen. Sementara pada anak yang salah satu orang tuanya menderita schizophrenia, kemungkinan terkena adalah 13 persen. Dan jika kedua orang tua menderita schizophrenia maka risiko terkena adalah 35 persen. (Chaery Indra dalam http://www.jambi-independent.co.id/home, 21 Juli 2007, jam 17.15 wita. Hasil survey pendahuluan yang peneliti lakukan pada tanggal 30 Mei 2007 di BPK RSJ Propinsi Bali pada klien yang dirawat inap dengan perubahan persepsi sensori cukup banyak. Dari kapasitas rumah sakit 275 orang, klien yang dirawat inap berjumlah 246 orang, 66 orang (26,8 %) dengan perubahan persepsi sensori, 40 orang (16,2 %) dengan gangguan proses pikir, 59 orang (23,9 %) dengan gangguan hubungan social, 27 orang (10,9 %) dengan gangguan konsep diri, 21 orang (8,5 %) dengan perilaku kekerasan, 3 orang (1,2 %) dengan dimensia, 10 orang (4,1 %) dengan gangguan mental organic, 15 orang (6,2 %) dengan gangguan alam perasaan, ketergantungan obat 5 orang (2,2 %). Dari 66 klien yang mengalami perubahan persepsi, 12 orang (18,1 %) mengalami ilusi, 54 orang (81,9 %) mengalami halusinasi. Dari 54 orang yang mengalami halusinasi, 42 orang (77,8 %) mengalami halusinasi pendengaran dan 12 orang (22,2 %) mengalami halusinasi penglihatan. Dari 42 orang yang mengalami halusinasi pendengaran, 8 orang (33,3 %) pada fase I : Comforting, 25 orang (52,5 %) pada fase II : condemning, 6 orang (19,1 %) pada fase III : controlling dan 3 orang (7,1 %) pada fase IV : conquering.
Terjadinya kekambuhan pada klien yang sedang dirawat di BPK RSJ Propinsi Bali terutama pada klien yang mengalami gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran disebabkan karena ketidakmampuan klien dalam mengadapi stressor dan kurangnya kemampuan dalam mengenal dan cara mengontrol halusinasi. Adanya ancaman terhadap kebutuhan akan menyebabkan seseorang akan berusaha menanggulangi ancaman tersebut dengan mengadakan adaptasi, pada klien dengan gangguan jiwa kemampuan untuk menghadapi stressor sangat kurang disertai ketidakmampuan untuk mengadakan adaptasi akan mengakibatkan terjadinya kekambuhan. Dari survey pendahuluan yang peneliti lakukan sebagian besar klien dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi mengalami gangguan dalam berhubungan dengan orang lain (menarik diri). Adanya gangguan dalam berhubungan dengan orang lain akan mengakibatkan kurangnya kemampuan untuk mengungkapkan masalah yang mereka hadapi kepada orang lain, bila ada masalah klien cenderung akan memendamnya sendiri dan berusaha mencari solusi pemecahan dengan caranya sendiri. Karena berperilaku menarik diri mereka biasanya mereka akan mulai dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan bagi dirinya, apabila hal ini terus menerus berlangsung maka klien akan mengalami gangguan dalam mempersepsikan stimulus yang dialami. Halusinasi benar-benar riil dirasakan oleh klien yang mengalami, ketidakmampuan untuk mempersepsikan stimulus secara riil akan menyulitkan kehidupan klien. Halusinasi yang dialami oleh klien berbeda intensitas dan keparahannya. Halusinasi di bagi dalam 4 fase yang berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya. Ada empat fase halusinasi yaitu : ansietas sedang (comforting), ansietas berat I (condemning), ansietas berat II (controling), dan panic (conguering). Perilaku klien akibat panik dapat meyebabkan terjadinya suicide atau homicide. Hawari dalam www.schizophrenia.com/21 Juli 2007, jam 16.25 wita).
Angka klien yang dirawat di BPK RSJ Propinsi Bali dengan halusinasi pendengaran cukup tinggi, hal ini tentunya perlu mendapat perhatian serta penanganan yang serius karena semakin awal pasien ditangani dapat mencegah klien mengalami fase yang lebih berat sehingga resiko kekerasan dengan sendirinya dapat dicegah. Penanganan klien tidak hanya ditekankan dari aspek pengobatan saja karena Keberhasilan pengobatan akan bertambah bila terapi ditambah dengan terapi holistik, yang meliputi terapi psikososial dan vokasional. Tindakan keperawatan yang tepat untuk mengatasi halusinasi dimulai dengan melakukan hubungan saling percaya dengan pasien. Selanjutnya membantu pasien mengenal halusinasi dan membantu mengontrol halusinasi. Pelaksanaan pengenalan dan pengontrolan halusinasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kelompok dan individu. Secara kelompok selama ini sudah kita kenal dengan istilah terapi aktifitas kelompok (TAK) dan secara individu dengan cara face to face ( interaksi). Penggunaan kelompok dalam praktek keperawatan jiwa memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, pengobatan, atau terapi serta pemulihan kesehatan jiwa seseorang. Meningkatnya penggunaan terapi modalitas merupakan bagian dan memberikan hasil yang positif terhadap perilaku pasien. Dan juga dinamika kelompok tersebut membantu individu atau pasien meningkatkan perilaku adaptif dan mengurangi perilaku maladaptive. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh individu atau klien melalui aktivitas kelompok meliputi dukungan (support), pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan hubungan. Terapi aktifitas kelompok dibagi empat yaitu : terapi aktifitas kelompok sosialisasi, stimulasi persepsi, stimulasi sensori, dan orientasi realita. Terapi aktifitas kelompok stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktifitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dan atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesian masalah. Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya. Metode TAK selama ini belum dilaksanakan oleh perawat di BPK RSJ Propinsi Balioleh sebab itu peneliti tertarik ingin mengkaji pengaruh terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi terhadap tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh terapi aktivitas kelompok (TAK) : stimulasi persepsi terhadap tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran?.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mempelajari pengaruh terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi terhadap tingkah klien dengan halusinasi pendengaran.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran sebelum di berikan terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi .
b. Mengidentifikasi tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran setelah di berikan terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi.
c. Menganalisis pengaruh terapi aktivitas kelompok : stimulasi terhadap tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran sebelum dan sesudah terapi



1.3 Manfaat
1.3.2 Secara Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan jiwa, terutama dalam penerapan terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi terhadap klien dengan halusinasi pendengaran.
1.3.3 Secara Praktis
a. Memberikan imformasi agar ditindaklanjuti guna meningkatkan mutu pelayanan keperawatan jiwa di BPK RSJ Propinsi Bali.
b. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan perubahan persepsi sensori : halusinasi, dapat dijadikan sebagai pedoman agar perawat berperan memberikan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi, sehingga klien dapat mengenal halusinasinya, dapat mengusir/menghardik halusinasinya, dapat mengontrol halusinasinya dengan melakukan kegiatan dan bercakap-cakap serta dapat mengontrol halusinasinya dengan patuh minum obat.
c. Dengan melaksanakan terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi, klien mendapat pelayanan yang berkualitas dan segera kembali kepada keluarga dengan kondisi yang sesuai dengan tata nilai pada masyarakat.

PENGARUH MENYUSUI TERHADAP PERCEPATAN PENURUNAN FUNDUS UTERI PADA IBU POST PARTUM HARI PERTAMA DAN KEDUA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa nifas secara harfiah didefinisikan sebagai masa segera setelah kelahiran, masa ini juga meliputi minggu-minggu berikutnya pada waktu saluran reproduksi kembali ke keadaan tidak hamil yang normal, umumnya berlangsung 6 minggu atau tidak lama sesudahnya. Selama masa ini, saluran reproduksi anatominya kembali ke keadaan tak hamil normal, yang meliputi perubahan pada corpus uteri, struktur permanen pada cerviks, vagina dan perineum sebagai akibat persalinan dan kelahiran. Proses involusi tersebut dipengaruhi oleh status gizi, parietas,usia, pendidikan, menyusui, dan senam nifas karena dapat mengakibatkan kontraksi uterus lebih baik dan pengeluaran lokhea lebih lancar (Cunningham, 1995).
Proses pemulihan kesehatan pada masa nifas merupakan hal yang sangat penting bagi ibu setelah melahirkan. Sebab selama masa kehamilan dan persalinan telah terjadi perubahan fisik dan psikis. Perubahan fisik meliputi ligament-ligament bersifat lembut dan kendor, otot-otot teregang, uterus membesar, postur tubuh berubah sebagai kompensasi terhadap perubahan berat badan pada masa hamil, serta terjadi bendungan pada tungkai bawah. Pada saat persalinan dinding panggul selalu teregang dan mungkin terjadi kerusakan pada jalan lahir, serta setelah persalinan otot-otot dasar panggul menjadi longgar karena diregang begitu lama pada saat hamil maupun bersalin (Sarwono, 1994).
Dalam masa nifas alat-alat genetalia internal maupun eksterna akan berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan-perubahan alat genital dalam keseluruhannya disebut involusi. Salah satu komponen involusio adalah penurunan fundus uteri. Di samping involusi, terjadi juga perubahan-perubahan penting yakni laktasi dan gangguan laktasi merupakan salah satu penyebab penurunan fundus uteri terganggu (Hanifa, 1999).
Apabila proses involusi ini tidak berjalan dengan baik maka akan timbul suatu keadaan yang disebut sub involusi uteri yang akan menyebabkan terjadinya perdarahan yang mungkin terjadi dalam masa 40 hari, hal ini mungkin disebabkan karena ibu tidak mau menyusui, takut untuk mobilisasi atau aktifitas yang kurang (Hanifa, 1999).
Berdasarkan catatan rekam medis di Ruang…….RSIA Puri Bunda Denpasar, masih didapatkan kasus sub involusi uteri sebanyak ……..kasus dari ….. pasien dalam waktu 6 bulan ( ….. - ……. 200…) dan hal ini salah satunya disebabkan karena ibu tidak mau menyusui akibat kondisi ibu dan bayinya yang tidak memungkinkan atau pengetahuan ibu yang kurang mengenai pemberian ASI. Hal ini mempunyai dampak yang berbahaya terhadap jiwa ibu karena dapat menimbulkan perdarahan.
Masa nifas hari pertama adalah masa kritis yang rentan sekali terjadi perdarahan, karena kontraksi uterus yang lemah akibat berkurangnya kadar oksitosin yang di sekresi oleh kelenjar hipofise posterior, maka asuhan masa nifas pada masa ini sangat di perlukan. Salah satu merangsang oksitosin adalah dengan cara rangsangan pada puting atau menyusui. Diperkirakan bahwa 60 % kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama yang sebagian basar disebabkan karena perdarahan post partum (Abdul Bari, 2000). Berdasarkan fenomena diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang pengaruh menyusui terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh menyusui terhadap percepatan penurunan fundus uteri pada ibu post partum hari pertama dan kedua ?

C. Tujuan Penelitian
1. Umum :
Untuk mengetahui pengaruh menyusui terhadap percepatan penurunan fundus uteri pada ibu post partum hari pertama dan kedua.
2. Khusus :
a. Mengetahui percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum yang menyusui hari pertama dan kedua.
b. Mengetahui percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum yang tidak menyusui hari pertama dan kedua.
c. Membandingkan percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum yang menyusui dan tidak menyusui hari pertama dan kedua.
d. Menganalisis pengaruh menyusui terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum hari pertama dan kedua.



D. Manfaat penelitian
1. Bagi ibu
Memberi pedoman bagi ibu atau masukan bahwa menyusui dapat berfungsi untuk mempercepat involusio uterus.
2. Bagi tenaga kesehatan
Menambah informasi atau pengetahuan tentang menyusui agar dapat memberi edukasi pada pasien.
3. Bagi penelitian yang akan datang
Dapat meneruskan penelitian tentang menyusui terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri.
4. Bagi institusi
Dapat menambah kepustakaan atau literatur tentang manfaat menyusui terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri.

PENGARUH ORIENTASI RUANGAN TERHADAP PERILAKU ADAPTIF PADA ANAK USIA SEKOLAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hospitalisasi merupakan masa selama seseorang menjalani perawatan di rumah sakit Supartini, Y. (2004). Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan dan stress pada semua tingkat usia. Kecemasan dan stress akibat hospitalisasi ini menimbulkan perasaan tidak nyaman sehingga dibutuhkan proses penyesuaian diri untuk meminimalkan kecemasan dan stress supaya tidak berkembang menjadi krisis (Nursalam 2005).
Kecemasan dan stress yang dialami anak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor dari petugas (perawat, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru maupun keluarga yang mendampingi selama perawatan (Nursalam, 2005). Reaksi kecemasan ini juga dapat dipengaruhi oleh perkembangan usia, pengalaman sebelumnya, support system yang tersedia dan mekanisme koping seorang anak (Wong, 1995).
Pada usia sekolah, sumber stress saat hospitalisasi antara lain akibat perpisahan, kehilangan kontrol, cedera dan nyeri tubuh akibat prosedur invasif. Respon perilaku pada anak usia sekolah adalah regresi, ketergantungan, perasaan takut, cemas, rasa bersalah serta respon fisiologis (Wong, 2003).
Perawat sangat berperan untuk mengurangi kecemasan akibat hospitalisasi. Pasien anak akan merasa nyaman selama perawatan dengan adanya lingkungan perawatan yang terapeutik, dan sikap perawat yang penuh perhatian akan mempercepat proses penyembuhan (Nursalam, 2005). Pemberian intervensi keperawatan ditujukan pada penanganan masalah fisik, psikologis, sosial dan ketergantungan (spiritual). Masalah psikis yang penting pada pasien anak yang dirawat dirumah sakit yaitu rasa cemas dan takut terhadap lingkungan baru. Untuk itu perlu memberitahu kepada anak mengenai rumah sakit dengan cara orientasi ruangan dan peraturan rumah sakit. Orientasi ini meliputi pengenalan dengan ruangan, alat-alat, peraturan-peraturan, petugas, dan perawat yang ada, guna mencegah stress hospitalisasi (Nursalam, 2005).
Di ruang anak RSAD Denpasar, pemberian orientasi ruangan pada anak yang dirawat di rumah sakit jarang dilakukan, sehingga seringkali anak merasa asing dengan lingkungan dan ketakutan atas kehadiran perawat serta tindakan keperawatan yang akan dilakukan pada anak.
Dari data awal yang diperoleh dari rekam medik RASD Denpasar menunjukkan anak usia sekolah yang dirawat selama bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2009 rata-rata berjumlah 30 anak per bulan. Berdasarkan survey pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Maret 2009 di ruang Anak RSAD Denpasar, respon perilaku yang ditunjukkan pada saat hospitalisasi pertama hampir semua anak usia sekolah berperilaku maladaptif. Menurut Munawaroh (2003) menyimpulkan bahwa pola perilaku kecemasan karena perpisahan pada anak selama hospitalisasi pertama menampakkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tahap- tahap perkembangan usianya.
Respon perilaku maladaptif pada anak akibat tidak dilakukan orientasi ruangan dapat menghambat pemberian pelayanan baik perawatan maupun pengobatan (Nursalam 2005). Dengan adanya fenomena ini maka peneliti tertarik untuk mengidentifikasi pengaruh orientasi ruangan terhadap perilaku adaptif pada anak usia sekolah yang dirawat di ruang Anak RSAD Denpasar.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Adakah pengaruh orientasi ruangan terhadap perilaku adaptif pada anak usia sekolah yang dirawat di ruang Anak RSAD Denpasar?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Umum
Untuk mengetahui pengaruh orientasi ruangan terhadap perilaku adaptif pada anak usia sekolah yang dirawat di ruang Anak RSAD Denpasar.
2. Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik anak yang dirawat di ruang Anak RSAD Denpasar
b. Mengidentifikasi perilaku adaptif pada anak usia sekolah yang tidak dilakukan orientasi ruangan saat dirawat di rumah sakit.
c. Mengidentifikasi perilaku adaptif anak usia sekolah setelah dilakukan orientasi ruangan yang dirawat di rumah sakit
d. Mengidentifikasi pengaruh orientasi ruangan terhadap perilaku adaptif pada anak usia sekolah yang dilakukan orientasi ruangan dengan yang tidak dilakukan orientasi ruangan yang dirawat di rumah sakit.


D. Manfaat Penelitian
1. Rumah Sakit
Sebagai masukan bagi pemberi asuhan keperawatan anak dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul pada anak usia sekolah yang dirawat di Rumah Sakit dalam pelaksanaan orientasi ruangan.
2. Pasien dan Keluarga
Kebutuhan rasa aman dan nyaman anak tetap terpenuhi, sehingga dapat beradaptasi selama hospitalisasi dan mempercepat proses penyembuhan.
3. Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar atau bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

PENGARUH TAK : STIMULASI SENSORIS TERHADAP KEMAMPUAN KLIEN MEMBERI RESPONS DAN MENGEKSPRESIKAN PERASAAN DI RSJ PROPINSI BALI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Multi krisis yang menimpa masyarakat dewasa ini merupakan salah satu pemicu yang menimbulkan stres, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organizatin (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa diseluruh dunia memang menjadi masalah yang sangat serius, paling tidak satu dari empat orang di dunia mengalami gangguan kesehatan mental. Diperkirakan ada sekitar 450 juta orang didunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Di Indonesia diperkirakan sebanyak 246 dari 1000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Angka ini menunjukkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa dimasyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari cemas, depresi, stres, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. (Yosep,2007)
Gangguan jiwa merupakan proses psikologis dari seseorang yang tidak berfungsi dengan baik sehingga mengganggu dalam keadaan sehari hari, oleh karena menyulitkan diri sendiri dan orang lain disekitarnya. Gangguan jiwa yang menonjol adalah gejala yang patologik dari faktor psikologik, berarti bahwa unsur yang lain tidak terganggu yang sakit dan menderita adalah manusia seutuhnya dan bukan hanya badannya, jiwa/ lingkungannya. (Maramis, 1995). Gangguan jiwa merupakan kumpulan dari keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Gangguan tersebut dibagi dalam dua golongan yaitu gangguan jiwa (neurosa) dan sakit jiwa (psikosa/ psikosis). Gangguan terlihat dalam berbagai macam gejala yang menyertai seperti gangguan kognisi, gangguan perhatian, gangguan ingatan, gangguan asosiasi, gangguan pertimbangan, gangguan pikiran, gangguan kesadaran, gangguan kemauan, gangguan emosi dan afek, dan gangguan psikomotor. (Yosep, 2007).
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan prilaku, untuk dapat memahami diri klien seutuhnya dalam memenuhi kebutuhan bio- psiko sosial. Asuhan keperawatan ditujukan kepada klien untuk dapat menjalankan kehidupan sehari hari, sehingga dapat menjalankan aktifitas sesuai dengan perannya. ANA (American Nurses Association) mendefinisikan keperawatan kesehatan mental dan psikistrik sebagai suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan menggunakan diri sendiri sebagai kiatnya. Stuart & Sundeen,1998).
Dalam memberi palayanan kesehatan kepada klien seorang perawat dituntut ketrampilan dan kiat- kiat sesuai perkembangan ilmu dan teknologi berdasarkan hubungan terapiutik. Hubungan terapiutik merupakan serangkaian suasana dan situasi yang tercipta antara individu yang memerlukan dan individu yang memberi bantuan dalam suatu setting pelayanan kesehatan. Proses keperawatan merupakan metode ilmiah yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan klien pada semua tatanan pelayanan kesehatan.
Berbagai terapi keperawatan yang dikembangkan dalam parawatan klien gangguan jiwa difokuskan pada klien secara individu, kelompok, keluarga maupun komunitas. Pemberian jenis-jenis terapi harus sesuai dengan tahap penanganan klien gangguan jiwa yaitu tahap penanganan krisis, tahap penanganan fase akut, tahap penanganan fase pemeliharaan dan tahap peningkatan kesehatan. Pada klien fase pemeliharaan salah satu intervensi yang diberikan adalah pemberian terapi aktivitas kelompok.
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) merupakan salah satu terapi modalitas sebagai bentuk psikoterapi yang dilakukan oleh sekelompok klien dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin dan diarahkan seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang terlatih. Salah satu jenis terapi aktivitas kelompok untuk klien gangguan interaksi sosial : menarik diri adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori. Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori adalah upaya menstimulasi semua pancaindra (sensori) agar memberi respon yang adekuat.(Kelliat B.A & Akemat,2004). Terapi ini diberikan karena klien tidak mampu berespon dengan lingkungan sosialnya.
Rumah sakit jiwa Propinsi Bali merupakan pusat rujukan dalam merawat klien dengan gangguan jiwa di Bali. Berdasarkan data yang peneliti dapatkan di RS Jiwa Propinsi Bali, tiga bulan terakhir : bulan Juli sampai dengan Desember tahun 2008 rata-rata jumlah klien yang dirawat tiap bulan sebanyak 274 orang. Dari jumlah tersebut 266 orang atau 97,1% mengalami skizoprenia, dari 266 klien tersebut 52 orang atau 20% mengalami kerusakan interaksi sosial. Kerusakan interaksi sosial merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain atau suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (Rawlins, 1993). Kerusakan interaksi sosial terjadi apabila individu menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. Pemutusan proses hubungan terkait erat dengan ketidakpuasan individu terhadap proses hubungan yang disebabkan oleh kurangnya peran serta, tidak mampu berespon dengan lingkungan sosialnya, kondisi ini dapat mengembangkan rasa tidak percaya diri dan keinginan menghindar dari orang lain. Apabila tingkah laku tersebut tidak segera ditanggulangi dapat menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa yang elbih berat seperti munculnya halusinasi, risiko mencederai diri dan orang lain dan penurunan minat kebutuhan dasar psikologis. Berdasarkan keterangan petugas dan catatan keperawatan klien, untuk klien dengan kerusakan interaksi sosial hanya dilakukan terapi kerja, sedangkan terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori tidak pernah dilakukan. Asuhan keperawatan klien dengan kerusakan interaksi sosial dilakukan dengan pendekatan individu dan pendekatan kelompok. Hal ini dapat dilakukan terapi aktivitas kelompok, penggunaan kelompok dalam praktek keperawatan jiwa memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan kekambuhan serta pemulihan harga diri klien selama dirawat di Rumah Sakit. Dinamika kelompok membantu klien meningkatkan perilaku adaptif serta mengurangi perilaku maladaptif.
Berdasarkan uraian diatas penggunaan terapi aktivitas kelompok dapat memberikan dampak positif dan dapat membantu klien meningkatkan perilaku adaptif serta mengurangi perilaku maladaptif terutama pada pasien dengan kerusakan interaksi sosial yang salah satunya disebabkan oleh ketidakmampuan berespon dengan lingkungan sosialnya. Salah satu terapi aktivitas kelompok yang mempunyai tujuan agar klien mampu memberikan respon dan dapat mengekspresikan perasaan adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori. Dengan terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori klien dapat menggunakan semua panca inderanya untuk merespon stimulus yang diberikan, sehingga klien dapat memberi respon yang adekuat, dengan kemampuan memberi respon terutama terhadap lingkungan diharapkan klien mampu meningkatkan hubungan sosial dengan orang lain. Berdasarkan hal tersebut mendorong peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Pengaruh TAK stimulasi sensori terhadap kemampuan klien memberi respon dan mengekspresikan perasaan di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali”.

B. Rumusan Masalah.
Apakah ada pengaruh pelaksanaan TAK stimulasi sensori terhadap kemampuan klien memberi respon dan mengekspresikan perasaan di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum :
Untuk mengetahui pengaruh TAK stimulasi sensori terhadap kemampuan klien memberi respon dan mengekspresikan perasaan di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali
2. Tujuan khusus :
a. Untuk mengidentifikasi kemampuan klien memberi respon dan mengekpresikan perasaan sebelum dilakukan pelaksanaan terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori.
b. Untuk mengidentifikasi kemampuan klien memberi respon dan mengekpresikan perasaan setelah dilakukan pelaksanaan terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori.
c. Menganalisis pengaruh terapi Aktivitas Kelompok stimulasi sensoris terhadap kemampuan klien memberi respon dan mengekpresikan perasaan sebelum dan sesudah terapi

D. Manfaat Penelitian.
1. Hasi penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman perawat diruangan dalam memberikan asuhan keperawatan dan sebagai bukti dalam meningkatkan ketrampilan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan kerusakan interaksi sosial.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai refrensi dalam mengembangkan ilmu praktis dibidang perawatan, dalam penerapan TAK khususnya terapi Aktivitas Kelompok stimulasi sensoris pada klien dengan kerusakan interaksi sosial.
3. Bagi klien dan keluarga membantu proses perbaikan dan pemulihan keadaan klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial, memberi informasi bagi klien dan keluarga tentang penanganan gangguan interaksi sosial dengan terapi Aktivitas Kelompok stimulasi sensoris dan meningkatkan kerja sama antara keluarga dengan petugas kesehatan.